Oleh: Roni Efendi (Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas)
Dosen Hukum Pidana Fakultas Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar
Kejelasan mengenai siapa yang dapat dipidana dan bagaimana bentuk perbuatan yang dapat dimintai pertanggungjawaban menjadi nadi bagi tegaknya kepastian hukum dalam hukum pidana. Di Indonesia, ketika korporasi ditempatkan sebagai subjek hukum pidana, lahirlah problem mendasar yang hingga kini belum kunjung mendapat solusi memadai yakni apa yang dimaksud dengan perbuatan materil korporasi dalam tindak pidana korupsi? Kekosongan definisi ini telah melahirkan ketidakpastian, bahkan membuka ruang bagi impunitas korporasi yang mestinya menjadi aktor utama dalam praktik korupsi skala besar.
Secara normatif, Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) memang menyebutkan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkup korporasi. Namun, pasal tersebut sama sekali tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “perbuatan materil” korporasi. Ketidakjelasan ini membuat aparat penegak hukum kebingungan: apakah sekadar keuntungan yang diterima korporasi sudah cukup untuk menjadikannya tersangka, ataukah harus ada bukti bahwa pengurus korporasi sendiri terlibat langsung?
Kekaburan norma ini diperparah oleh ketentuan Pasal 46–49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang meskipun mempertegas posisi korporasi sebagai subjek hukum, juga tidak memberikan batasan tegas tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan materil korporasi. Alhasil, terdapat celah besar dalam penegakan hukum, bahwa korporasi kerap hanya ditempatkan sebagai penerima manfaat, bukan pelaku tindak pidana. Padahal dalam praktiknya, banyak skandal korupsi yang justru dirancang, dibiayai, dan dikendalikan oleh entitas korporasi.
Persoalan semakin runyam ketika menganalisis adanya benturan horizontal antara UU PTPK dengan UU UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN. Pasal 4B UU BUMN menyebutkan bahwa direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum sepanjang dapat membuktikan bahwa kerugian bukan akibat kesalahan atau kelalaiannya, serta telah dijalankan dengan iktikad baik. Dengan dalih iktikad baik, pengurus korporasi BUMN dapat berlindung sekalipun kebijakan yang diambil berujung pada kerugian keuangan negara. Norma ini jelas bertabrakan dengan semangat UU PTPK yang menegaskan bahwa setiap perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi.
Dititik inilah, kita menyaksikan pertemuan dua lex specialis yang saling bertolak belakang. UU PTPK sebagai lex specialis anti-korupsi menghendaki zero tolerance terhadap segala bentuk kerugian negara. Sebaliknya, UU BUMN sebagai lex specialis di bidang korporasi memberikan ruang perlindungan melalui klausul itikad baik. Benturan ini menimbulkan paradoks hukum apakah negara serius memberantas korupsi, ataukah justru memberi perlindungan istimewa bagi korporasi tertentu?
Dampaknya sangat nyata, dalam praktik penegakan hukum aparat kerap menghadapi dilema menjerat korporasi dengan UU PTPK berarti mengabaikan tameng hukum yang diberikan UU BUMN. Sebaliknya, tunduk pada UU BUMN berarti membiarkan kerugian negara tanpa sanksi pidana. Akibatnya, pemberantasan korupsi menjadi setengah hati. Korporasi yang mestinya dipidana sering kali hanya dikenakan sanksi administratif atau perdata, sementara aktor individu dijadikan kambing hitam.















