PADANG, METRO – Bawaslu Sumbar mengaku butuh dukungan berbagai pihak dalam melakukan pengawasan Pemilu 2019. Hal ini terungkap dari pengakuan Anggota Bawaslu Sumbar, Vifner dalam sosialisasi dan diskusi pengawasan Pemilu 2019 yang diadakan Bawaslu Sumbar dengan berbagai kelompok masyarakan sipil dan organisasi pemantau pemilu yang diadakan di Hotel Grand Zuri Padang, Sabtu (13/4).
Pada diskusi itu, Bawaslu mengundang beberapa orang narasumber aktivis hak sipil di Sumbar. Yakni, Ketua KIPP Sumbar Samaratul Fuad, pakar hukum Khairul Fahmi, dan Ketua LBH Pers, Roni Saputra.
“Kehadiran kelompok masyarakat sipil dan organisasi pemantau pemilu ini sangat penting dalam kawal pemilu. Salah satunya ketika menghadapi kasus dugaan pelanggaran pemilu,” sebut Vifner.
Menurutnya, pembangunan opini yang dibuat kelompok masyarakat sipil dan organisasi jadi sebuah dorongkan kuat bagi Bawaslu dalam melakukan pengawasan pemilu.
Diakuinya, Bawaslu perlu mendapat penguatan dari kelompok ini dalam berbagai hal terkait penyelenggaraan pemilu ini. Mengenai kehadiran pemantau pemilu, Vifner mengaku siap merangkul kelompok tersebut. Terlebih dalam memantau pelaksanaan pemilu.
Dirinya tidak menafikan keberadaan kelompok masyarakat sipil ini. Sebab selain soal penegakan hukum dari Gakkumdu, Bawaslu juga butuh penguatan dari kelompok masyarakat sipil tersebut.
Pasalnya dia menduga banyak potensi kecurangan yang bisa dalam pelaksanaan pemilu kali ini. “Makanya Bawaslu butuh dukungan dari pihak di luar Bawaslu guna memberikan penguatan hukum ketika sebuah proses hukum dugaan pelanggaran pemilu sedang berproses di Gakkumdu,” kata Vifner.
Mengenai pengawasan TPS, Vifner juga memastikan pengawas TPS (PTPS) siap bekerja dan punya kewenangan mengambil tindakan jika terjadi kecurangan. Pakar Hukum Tata Negara Unand, Khairul Fahmi mencoba menguraikan beberapa persoalan yang terkait pelaksanaan pemilu kali ini.
Menurutnya, ada sejumlah persoalan yang perlu dicermati. Mulai dari hak konstitusi masyarakat, prosedur dan aturan bagi pindah memilih, hingga menyangkut instrumen atau syarat warga untuk dapat memilih sampai pada persoalan e-KTP. “Bicara soal hak pilih, ini merupakan hak konstitusi seorang warga negara. Karena dengan adanya hak pilih ini lah masyarakat akan menentukan siapa pemimpinnya,” kata Khairul Fahmi.
Kemudian, lanjut dia, dengan ada putusan MK yang sebutkan warga bisa memilih meski tidak masuk dalam DPT. Namun kemudian aturan itu diubah lagi, bahwa warga yang bisa memilih itu apabila mereka tercatat NIK-dalam DPT, atau warga yang belum punya e-KTP
Dia juga menyampaikan negara saat ini sedang menuju single identity. Namun hal ini memunculkan disharmonis. Pasalnya masih ada kemungkinan warga gunakan surat keterangan (Suket) yang menerangkan mereka sudah lakukan perekaman e-KTP, tapi belum dapat bukti fisik KTP itu sendiri. (heu)