Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau agar tak mudah tergiur dengan berbagai tawaran financial technology (fintech) peer to peer lending atau pinjaman online alias utang online dan berakhir terlilit utang lantaran pinjam dana. Pengguna harus memahami kemampuan keuangan dirinya sendiri.
“Kita berimbang sajalah, tidak ada yang jahat, tidak ada yang benar. Kalau pinjamnya terlalu tinggi, si jasa fintech peer to peer ini harus koreksi juga. Tetapi, yang minjam juga sudah tau kemampuannya, sanggupnya cuma bayar satu kenapa harus pinjam di lima jasa,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen di Padang, belum lama ini.
Hoesen menjelaskan, OJK akan menindak penyelenggara fintech yang sudah terdaftar atau berizin jika melakukan pelanggaran. Untuk fintech ilegal OJK sudah bekerja sama dengan Satuan Tugas Waspada Investasi untuk memutus mata rantai aliran dana. Cara pengawasannya, kata dia, OJK akan cek lalu diverifikasi. Jika ada tindak pidana maka langsung ditangkap.
“Saya juga menyayangkan peer to peer yang tidak etis. OJK tetap melakukan pengawasannya. Begitu juga, debt collector yang boleh itu di hire (rekrut) yang sudah bersetifikasi. Tidak bisa sembarangan yang jadi debt collector. Jika seperti ini, kerugian yang ditimbulkan pihak lembaga, dibebankan ke lembaga,” ujar Hoesen.
Hoesen menambahkan, untuk fintech yang terdaftar di bawah pengawasan OJK serta menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah memiliki beberapa kesepakatan bersama. Di antaranya adalah tidak boleh melakukan tindak kekerasan dalam proses penagihan hingga memberlakukan denda yang mencekik nasabah.
Oleh karena itu, Hoesen mengimbau, agar masyarakat aktif memberi pengaduan jika melihat ada jasa penyedia fintech peer to peer yang menyalahi aturan atau merugikan masyarakat. Jika terbukti, serta pengaduannya dirasa cukup, maka OJK akan langsung menindak penyedia jasa fintech yang tidak sesuai aturan.
“Sebetulnya yang paling bagus itu masyarakat berani melapor kepada OJK. Ini ada yang mencurigakan loh. Ya laporkan saja. Saya sudah banyak menerima laporan, ada dari pasar modalnya, pengawasan perbankan, dan sebagainya,” sebut Hoesen.
Heosen juga mengingatkan, bahwa ketika orang berhutang kewajibannya adalah mengembalikan pinjaman. Ini harus dipahami. Kemudian, jika yang berhutang tidak mengembalikan, maka harus ditagih. Namun, dirinya menyesalkan perlakuan si penghutang yang tidak baik saat dilakukan penagihannya.
“Sering yang kurang baik, seolah-olah hutangnya gak ada. Hutang ya hutang, harus dibayar. Saya agak khawatir seolah-olah si penghutang ini tidak lindungi. Tapi sebetulnya, yang meminjamkan uang juga harus dilindungi, karena mereka juga masyarakat,” sebut Hoesen.
Di sisi lain, Hoesen menjelaskan, peer to peer lending merupakan layanan jasa keuangan yang membantu mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dimana aktivitas ini dilakukan melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
“Peer to peer itu adalah satu fasilitas yang baru di masyarakat, masih muda usianya. Awalnya dibeberapa negara menggunakan peer to peer daripada lewat bank, akhirnya pakai sistem. Dulu niat baiknya, peer to peer ini untuk melawan rentenir,” jelas Hoesen. (mil)