Oleh: Dr. Muhammad Iqbal (Psikolog)
FENOMENA tawuran remaja merupakan bagian dari fenomena sosial di masyarakat dan dikategorikan kenakalan remaja. Dalam perspektif ilmu psikologi perkembangan, Kenakalan remaja biasanya berkaitan dengan upaya pencarian jatidiri pada fase remaja, dimana remaja seringkali mencoba banyak hal-hal yang baru
Kenakalan dimasa remaja berhubungan dengan kondisi bahwa otak remaja belum sepenuhnya matang dan masih dalam proses perkembangan hingga usia 20-an, sehingga remaja cenderung dalam mengatasi sebuah masalah dan mengambil Keputusan yang labil dan tidak matang, sehingga cenderung gegabah dan mengikuti dorongan hawa nafsu
Remaja sangat dipengaruhi oleh pengaruh rekan sebaya dan lingkungan sosial yang membuat mereka ingin selalu eksis dan mendapat apresiasi dari kelompoknya.
Dalam berbagai penelitian fenomena tawuran dapat dikategorikan merupakan salah satu bentuk kenakalan remaja yang diartikan dengan konflik dalam bentuk perilaku agresif dan penyerangan secara fisik antara dua kelompok siswa atau pelajar secara bersamaan disertai dengan kata-kata cacian dan merendahkan terhadap kelompok lawan dengan tujuan mendapatkan pengakuan dan kemenangan.
Namun, tawuran yang terjadi saat ini bukan hanya dilakukan remaja, namun juga orang dewasa yang sudah bisa dikategorikan sebagai tindakan kriminalitas karena selain mereka menyerang lawannya, mereka juga merusak fasilitas umum karena dilakukan di jalanan umum dan bahkan, hingga menyebabkan adanya korban jiwa.
Demikian juga dalam perspektif kriminologis fenomena tawuran pelajar termasuk dalam perilaku kekerasan dan agresif yang bisa dihukum secara pidana.
Kasus tawuran masih terus terjadi di berbagai daerah Indonesia termasuk di kota Padang yang semakin hari semakin marak. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2021 ada 188 desa/kelurahan di seluruh Indonesia yang menjadi arena perkelahian massal antar pelajar atau mahasiswa.
Tawuran antar remaja dapat memiliki faktor-faktor psikologis yang menjadi pemicunya, seperti: Krisis identitas, Lemahnya kontrol diri, Ketidakmampuan menyesuaikan dengan lingkungan sosial, Emosi yang belum stabil di masa remaja, tawuran dapat dipicu oleh kondisi psikologis remaja yang muncul sebagai akibat proses penemuan jati diri yang keliru. Remaja mengalami krisis identitas, lemahnya kontrol diri, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Remaja yang melakukan tawuran biasanya tidak mampu melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang kompleks, seperti keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai perubahan di berbagai kehidupan lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam.
Tawuran dianggap remaja sebagai solusi atas masalah mereka karena kapasistas otak yang belum sepenuhnya matang dalam menganalisa suatu masalah, sehingga dalam kondisi ini remaja cenderung tergesa-gesa dalam menyelesaikan masalah tanpa mempertimbangkan akibat yang akan ditimbulkan.
Selain itu, lingkungan sekolah, pergaulan, dan keluarga juga memiliki pengaruh signifikan terhadap keberlangsungan perilaku remaja yang bermasalah ini. Keluarga dan lingkungan masyarakat juga tidak luput sebagai indikator yang memicu terjadinya tawuran pelajar. Dalam teori masalah sosial, tawuran dapat dikategorikan ke dalam teori fungsional. Teori ini berjalan dengan pengertian bahwa jika salah satu bagian dalam masyarakat tidak menjalankan tugas dan peranannya dengan baik, maka akan terjadi masalah sosial. Masalah-masalah di rumah seperti perceraian orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, ketidakstabilan dalam lingkungan keluarga, dan kurangnya pendidikan agama menjadi alasan utama.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 59 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, remaja yang terlibat tawuran termasuk dalam kategori anak korban perlakuan salah yang harus mendapatkan perlindungan khusus dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya.
Perlindungan ini mencakup bimbingan nilai agama dan moral, konseling, serta pendampingan sosial. Langkah-langkah tersebut perlu diambil karena keputusan remaja untuk terlibat dalam tawuran dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah meningkatkan keberfungsian keluarga. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang berperan dalam perkembangan individu dan pembentukan karakter utama pada anak, jika orang tua harmonis, maka anak akan bahagia serta betah di rumah dan sebaliknya jika orang tua tidak harmonis anak akan mencari eksistensi di luar rumah.
















