Oleh: Reviandi
Tak ada yang abadi dalam politik. Semua hanya karena kepentingan. Tak ada kawan abadi, juga lawan sejati. Semua bisa berubah seiring berjalannya waktu. Dulu gontok-gantokan, sekarang bisa mesra sekali. Dulu saling gandengan, sekarang bisa saling serang.
Tapi begitulah nikmatnya politik, jangan terlalu dibawa ke hati. Memang benar kata yang selalu digaungkan orang-orang yang tak punya jagoan “politik sekenanya, persaudaraan selamanya.” Karena begitu banyak yang akhirnya berubah setelah salah satu berada pada sisi tertentu. Bisa saja semua akan hitam di satu waktu, putih di waktu yang lain. Karena semua sejatinya abu-abu.
Apa yang dilakukan Jokowi Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto setelah Pilpres 2019 menang langka. Sangat jarang dua Capres yang bertarung sengit, tiba-tiba bergabung. Apalagi begitu kerasnya persaingan yang sampai-sampai banyak memecah belah orang dalam satu keluarga. Satu mendukung 01, lain di 02. Bahkan ada suami istri beda pilihan yang akhirnya membuat hubungan mereka berubah. Jauh dari mesra.
Prabowo dan Jokowi tiba-tiba jadi satu tim dalam Kabinet Indonesia Maju. Jokowi Presiden, Prabowo Menteri Pertahanan. Jabatan yang pernah disebut Cawapres nomor urut 1 Muhaimin seharusnya menjadi jatahnya. Tiba-tiba hilang karena masuknya Prabowo dengan Partai Gerindra dalam koalisi. Tapi hal ini belum dikonfirmasi kepada Jokowi, meski tak penting.
Bergabungnya Jokowi-Prabowo ini disebut salah satu yang mempercepat Indonesia keluar dari pandemi Covid-19. Keduanya bahu-membahu membantu negara menyelesaikan masalah akibat virus Corona yang membuat dunia pun mundur. Tak ada kemajuan, tak ada perkembangan ekonomi, tak ada lagi harapan saat itu. Akhirnya dengan rekonsiliasi itu, Indonesia dianggap negara yang sukses mengendalikan pandemi dan terus berkembang.
Duet ini terus berlanjut pada Pilpres 2024 saat Prabowo menggandeng putra sulung Jokowi Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapresnya. Bahkan Jokowi dengan berani meninggalkan PDI Perjuangan yang menjadi tempatnya dan Gibran mengabdi selama ini. Menjadi musuh terbesar dari partai pengiring Capres Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Kalau Jokowi-Prabowo bergabung setelah Pilpres 2019, berbeda dengan Pilpres 2024. Dua pasangan, nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin dan nomor urut 3 Ganjar-Mahfud disebut-sebut akan bergabung. Tugas utamanya memastikan Prabowo-Gibran tak menang satu putaran. Sisanya, mereka akan saling dukung memenangkan putaran ketua Juni 2024. Siapa yang nomor dua akan dibantu.
Menarik sebenarnya mendengar wacana bergabungnya dua “haluan” yang berbeda ini. Karena bak langit dan bumi, seperti siang dan malam dan ibarat air dan api atau air dengan minyak. Secara harfiah, tak akan mungkin mereka bersatu. Tapi Pilpres 2024 ternyata bisa membuat dua kutub berlawanan arah ini bersatu. Bahkan disebutkan sudah berkomunikasi saat beberapa hari jelang debat kedua Pilpres 2024.
Para pendukung pasangan ini kerap berbenturan sejak awal-awal musim Pilpres. Apalagi kalau melihat di medsos, salah satu pendukung Capres membully habis-habisan rivalnya. Tapi itulah, semua kini terasa berbeda. Agak aneh memang. Tapi itulah kejadiannya. Mungkin akan aneh melihat PKS dan PDIP bersatu, meski dalam sejumlah Pilkada pernah terjadi.
Bergabungnya Anies dan Ganjar ini menjadi topik yang bersanding dengan posisi Prabowo-Gibran yang elektabilitasnya disebut sudah 50 persen. Artinya, peluang satu putaran terbuka. Sementara pasangan lain berkoalisi untuk memastikan, minimal masuk putaran kedua. Meski banyak survei menyebut secara head to head Prabowo unggul bila melawan Anies ataupun Ganjar.
















