Oleh: Reviandi
MASIH dari materi debat calon Presiden (Capres) edisi pertama. Satu kata yang menarik untuk diulik adalah oposisi. Yang keluar dari mulut Capres nomor urut 1 Anies Rasyid Baswedan, saat diberikan kesempatan menanggapi jawaban dari Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto. Anies seperti ingin ‘menghajar’ telak Prabowo, meski tak begitu-begitu amat.
Anies dengan lantang dan sedikit keras menyebut, Prabowo tidak tahan berada dalam oposisi. Karena pernah menyebut, susah berbisnis kalau tidak memiliki kekuasaan. Aset-asetnya seperti mati. Anies mengatakan kepada Prabowo, kekuasaan bukan saja tentang bisnis, bukan tentang uang. Kekuasaan adalah soal kehormatan untuk menjalankan kedaulatan rakyat.
Koalisi dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Artinya, orang yang berada di luar kekuasaan, bisa karena kalah dalam pertempuran politik. Atau baru membangun kekuatan untuk menumbangkan incumbent atau yang sedang berkuasa.
Sementara, Robert Alan Dahl, seorang politikus asal Amerika Serikat dan profesor emeritus ilmu politik di Universitas Yale menyebut, oposisi dalam konteks kehidupan demokrasi adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan karena merupakan salah satu fondasi pemerintah. Ada beberapa fungsi dan peran oposisi dalam konteks politik kehidupan berdemokrasi.
Pertama, penyeimbang kekuasaan. Penyeimbang secara substansi bisa diartikan sebagai kekuatan yang ada di luar pemerintah dengan memberikan alternatif sehingga pemerintahan menjadi seimbang dan tidak jauh dari kepentingan rakyat.
Kedua, menjaga alternatif kebijakan. Oposisi akan memungkinkan adanya banyak pilihan alternatif kebijakan pemerintah. Pasalnya, tidak ada satupun pemerintahan yang tidak luput dari kesalahan. Pemerintah dengan kebijakan terbaik pun, masih akan membutuhkan dukungan dari kelompok oposisi untuk mengetahui kepentingan rakyat.
Ketiga, stimulus persaingan antar elite pemerintah. Sebuah pemerintahan sudah pasti akan mengalami stagnasi atau bahkan sebuah kemunduran. Dapat terjadi apabila, pemerintah tidak mendapatkan tantangan dari pihak-pihak yang berkompeten dan mampu menunjukkan kepada rakyat mengenai kebijakan-kebijakan lain yang lebih masuk akal daripada kebijakan pemerintah. Dengan adanya oposisi, pemerintah dapat terjaga agar citranya tidak terganggu oleh oposisi yang memiliki kebijakan lebih baik.
Nah, begitulah kira-kira oposisi dan perannya. Tapi, apakah benar Prabowo tak kuat berada dalam oposisi. Sejak lengsernya Orde Baru (Orba) 1998, Prabowo pun sempat tidak terlibat dalam kekuasaan. Barulah 2003, dia kembali dan mengikuti konvensi Partai Golkar menyongsong Pilpres 2004. Prabowo kalah, karena yang diajukan Golkar adalah Wiranto. Wiranto pun kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada Pemilu/Pilpres 2009, Prabowo kembali datang dengan bendera Partai Gerindra yang didirikannya 2008. Maju menjadi wakil Megawati Soekarnoputri dan kalah dari SBY-Jusuf Kalla (JK). Sejak saat itu, Prabowo menjadi oposisi sampai 2019, atau sekitar 10 tahun. Pada Pilpres 2019, Prabowo memang kalah kembali melawan Joko Widodo.
Setelah Pilpres 2019, Prabowo yang awalnya tegak lurus oposisi, melunak. Dia bergabung dengan Kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin menjadi Menteri Pertahanan (Menhan). Hal ini yang kerap dijelaskan Prabowo, Partai Gerindra dan saat ini seluruh partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) serta pendukungnya. Karena banyak yang menyebut apa yang dilakukan Prabowo adalah pengkhianatan.
Prabowo dan kolega menjelaskan, sikap ‘berdamai’ dan bekerja sama ini diambil untuk mengurangi ketegangan akibat Pilpres 2019 yang sudah meruncing sejak 2014. Menghindari perpecahan dalam negeri, perang saudara yang bisa membuat Indonesia terpuruk. Apalagi, saat itu ada ancaman pandemi Covid-19 dan juga resesi ekonomi global. Kalau Indonesia tak juga ‘guyub’ dipastikan akan terus terpuruk dalam keruntuhan.
















