GEREJA, METRO – Pemikiran pemuda penting disinergisitaskan untuk pembangunan, sehingga pembangunan itu punya karakteristik tersendiri.
”NKRI sudah final, selagi masih tercantum dalam UUD NRI 1945, empat kali amandemen UUD 1945, NKRI tidak boleh diutak-atik itu komitmen bangsa pascareformasi 1998 lalu,” ujar tokoh demokrasi sekaligus Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Sumbar, Mufti Syarfie, Senin (4/2) saat menjadi pembicara sinergistas peranan pemuda di Hotel Kryad Bumi Minang.
Terkait agenda demokrasi pada tahun politik saat ini, menurut Mufti, pemilu adalah median untuk memilih pemimpin. “Untuk lahirkan pemimpin yang paham demokrasi dan ini menjamin makin kuatnya bingkai NKRI sebagai komitmen bangsa kita,” ujarnya.
Mufti menjelaskan, pemuda menjadi potensi pemilih besar dimiliki Indonesia menjadi penentu masa depan bangsa. Pemilih pemula harus ambil bagian dalam memilih ke TPS (tempat pemungutan suara).
”Jangan enggan ke TPS, karena nasib bangsa ke depan ada dicoblosan anak muda di TPS itu,” tegasnya.
Faktanya kata Mufti, 1999 menjadi angka paling tinggi partisipasi. Setelah itu, terjadi fluktuasi, 2004 angka partisipasi 84 persen, 2009 menjadi 71 persen dan 2014 sebanyak73 persen.
“Tidak ada alasan lain kalau Pemilu tonggak pembangunan nasional, Pemilu 2019 mesti jadi momentum kebangkitan sadar demokrasi,” ujar Mufti.
Sementara itu, Akademisi UNP yang mantan Ketua Badko HMI, Reno Fernandes mengaku agak sedih ketika melihat audien Sinergistas Peranan Pemuda Dalam Pembangunan. Ternyata tokoh muda tidak hanya kaum milenial yang seperti dianggap semula, pilih pola lebih banyak share ketimbang doktrin.
”Awal saya menyangka yang hadir generasi milenial, tapi ternyata yang hadir justru tokoh muda Sumbar sebagian ada pemotivasi saya saat dipergerakan dulu,” katanya.
Menurut Reno Fernandes, kemelekan pemuda jadi pemilih aktif di setiap pesta demorkasi harus terus digenjot.
“Karena 55,07 persen kaum muda berada di perkotaan yang banyak ruang akses untuk tahu politik ketimbang pemuda di desa yang hanya 44 persen,” ujar Reno.
Ia menjelaskan, data Pemilu 2019 ini, sebanyak 31,6 persennya adalah pemilih muda. Jumlah tersebut tentu bisa jadi penentu sebagai demokrasi Indonesia. Data 31,6 persen harus berpartisipasi untuk demokrasi yang baik dan menjadi triger kelanjutan pembangunan nasional lebih baik ke depan.
”Tapi kenyataanya, generasi milenial cenderung pasif, tidak aktif dalam Pemilu 2019. Ini menjadi PR bersama baik KPU, parpol, caleg termasuk elite di organisasi kepemudaan, karena potensi turunnya partisipatif justru di pemilih muda ini,” katanya.
Ia mengungkapkan, data pemilih pemuda sebanyak 31,6 persen itu melek internet dan mesti diberikan pembelajaran poltik. Jika dilepas, mereka pasti akan mencari identitas politik. Hal ini justru justru mengancam harmonisnya demokrasi Indonesia ke depan.
Reno mengatakan, masih ada peluang untuk meningkatkan partisipatif pemilih muda. Sebab, pemuda itu suka berbagi dan berkolaborasi, tidak mau diperintah tapi anak milenial mudah diarahkan “Masih ada waktu sebelum 17 April, lakukanlah cara cerdas dan pas untuk ajak pemuda aktif ke TPS,” tutup Reno. (heu)