Oleh: Reviandi
Wali Kota Padang Hendri Septa seperti terlepas dari beban saat Ekos Albar resmi dilantik menjadi Wakil Wali Kota (Wawako) Padang oleh Gubernur Sumbar Mahyeldi 9 Mei 2023. Sejak Mahyeldi jadi Gubernur 25 Februari 2021, dia resmi menyandang status ‘jomlo’ kepala daerah. Mahyeldi sebelumnya adalah Wali Kota Padang dan Hendri wakilnya.
Selama hampir dua tahun, Hendri Septa harus memimpin kota yang punya penduduk sekitar 1 juta sendirian. Meski pernah jadi anggota DPRD Padang 2009-2014, Hendri belum semumpuni Mahyeldi yang sudah satu periode jadi Wawako dan satu periode Wali Kota. Hendri banyak menjadi target ‘bullyan’ di berbagai media dan disebut Wako jomlo, karena tak kunjung punya wakil pascadilantik jadi Wali Kota 7 April 2021.
Polemik Hendri Septa ini sempat melebar kemana-mana, apalagi Wakil Gubernur Audy Joinaldy juga sempat berkomentar soal belum adanya Wawako. Apalagi proses pemilihan calon Wawako di DPRD Padang juga berlarut-larut sampai akhirnya memunculkan Ekos Albar dari PAN dan Hendri Gunawan dari PKS ke pemilihan DPRD. Ekos menang telak, mendapatkan 36 suara dan Hendri hanya 9. Diketahui, kursi PKS di DPRD Padang pas 9.
Soal jomlo, Hendri Septa sudah aman. Namun, apa sebenarnya arti jomlo. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, ada tiga arti jomlo. Pertama, berarti gadis tua. Kedua memiliki arti pria atau wanita yang belum memiliki pasangan hidup. Terakhir, jomlo mengandung arti tidak ada pasangan. Lalu, siapa lagi yang belum berpasangan kepala daerah di Sumbar?
Satu lagi kepala daerah yang sedang tidak berpasangan adalah Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan. Berbeda dengan Hendri Septa, Sutan Riska kehilangan Wakil Bupati Dharmasraya Dasril Panin Datuk Labuan yang meninggal 13 Februari 2022 pada usia 74 tahun. Sampai hari ini, belum ada Wakil Bupati pengganti, meski masa jabatan Sutan Riska akan berakhir Desember 2024.
Hebatnya, tak seperti Hendri Septa yang sering dikritik tanpa wakil, Sutan lebih adem dan anteng. Tak terlalu banyak yang mengingatkan akan kejomloannya. Mungkin karena ini adalah periode keduanya, dan dinilai sangat dekat dengan pemerintah pusat, SR tak butuh Wakil Bupati. Apalagi dia adalah Ketua Umum APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia).
Meski seharusnya, sebagai ‘bos’ APKASI, Sutan Riska harus memberikan contoh yang baik kepada anggotanya. SesuaiPeraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang ditandatangani Presiden Jokowi 12 April 2018 telah mengatur tentang tata cara pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Menurut PP ini, pemilihan kepala daerah atau wakil kepala daerah pengganti dilakukan jika terjadi kekosongan untuk sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan. Jika dilihat waktu meninggalnya Wabup Dharmasraya, itu masih jauh dari sisa jabatan 1,5 tahun. Namun kalau saat ini, sisa masa jabatan SR tinggal 15 bulan lagi. Jadi, apakah masih dilanjutkan atau tidak, belum ada gambaran.
Dari informasi yang didapat dari berbagai sumber di Dharmasraya, sebenarnya pengajuan calon wakil Bupati belum dilakukan karena koalisi SR-Dt Labuan terlalu gemuk. Saat Pilkada 2020, pasangan ini diusung koalisi PDI Perjuangan, Golkar, Demokrat, Hanura dan PKB. Selain itu juga didukung PPP dan Gelora. Mungkin inilah yang membuat lamanya proses, berbeda dengan Mahyeldi-Hendri yang hanya diusung PKS-PAN.
Selain itu, meski SR adalah kader PDIP, tak semua kader di DPRD ‘manut’ kepadanya dan cenderung masih memperdebatkan siapa yang akan dicalonkan sebagai wakil Bupati. Setidaknya, ada beberapa nama yang mengapung, tapi belum ada kesepakatan, siapa yang akan dimajukan ke DPRD Dharmasraya untuk dipilih di paripurna. Yang jelas, waktu sudah mepet, atau bahkan sudah terlambat memilih Wabup pengganti. SR kemungkinan besar mengakiri masa jabatannya sendiri.
















