Namanya Drs H Marlis MM. Dunia usaha dan politik di Sumbar lebih mengenalnya dengan panggilan Marlis Alinia. Kata terakhir merujuk kepada merek beragam usaha yang dikelolanya.
Marlis terlahir dari keluarga sederhana, tetapi sejak kecil, dirinya sudah terbiasa bekerja keras. Ia tak pernah menyerah dengan keadaan. Ketika kuliah di IKIP Padang (kini, UNP), Ia jalani sambil bekerja. Apa saja dikerjakannya, “saya tak pilih-pilih, asalkan halal, saya kerjakan,” katanya.
Kurang setahun tamat kuliah, Ia diterima menjadi guru. Langsung berstatus guru PNS di sebuah STM di Lubukpakam, Deliserdang, Sumatera Utara.
Kini menikah, isterinya juga seorang PNS di sebuah rumah sakit di Padang. Kondisi ini membuatnya menghadapi kesulitan. Dirinya tak bisa pindah ke Padang, isterinya juga tak bisa ke Lubukpakam.
“Akhirnya saya memilih untuk berhenti jadi guru, tidak menjadi pegawai lagi. Saya ke Padang, lalu memulai usaha kecil-kecilan. Tiga bulan berselang, dari usaha tersebut, saya bisa membeli mobil,” katanya mengenang. Ia sudah menjalani usaha sejak kuliah.
Ketika kawan-kawannya sesama guru tahu bahwa Ia sudah punya mobil, semua heran. Mereka yakin tidak akan bisa membeli mobil karena gaji PNS ketika itu hanya Rp 87 ribu perbulan.
Ia kerjakan apa yang bisa dilakukan. Termasuk belajar berorganisasi di organisasi profesi. Mulanya bergabung ke Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sumbar, kemudian mengelola berbagai usaha. Jika dihitung sejak berhenti jadi guru, sudah lebih 20 usahayang dikelolanya. Ia dipercaya menjadi ketua asosiasi rekanan pengadaan barang dan jasa di Sumbar.
















