PADANG, METRO–Dua mantan Direktur Politeknik Negeri Pertanian Payakumbuh (PPNP) Payakumbuh ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) oleh Bareskrim Polri.
Modus yang dilakukan dua mantan direktur PNPP ini yakni mengirimkan para mahasiswanya untuk magang ke Jepang. Namun di Jepang, para mahasiswanya malah dipekerjakan di sebuah perusahaan sebagai buruh bukan sebagai mahasiswa magang untuk praktek dan menuntut ilmu.
Selama bekerja sebagai buruh, para mahasiswa pun diperlakukan tidak manusiawi. Mereka harus bekerja selama 14 jam dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 10.00 malam. Hal tersebut terus mereka lakukan selama 7 hari dalam seminggu, alias tanpa libur.
Bahkan, istirahat yang diberikan oleh pihak perusahaan untuk makan pun hanya selama 10-15 menit, sehingga para korban tidak diperbolehkan untuk beribadah. Sementara itu, para mahasiswa juga diberikan upah sebesar 50.000 Yen atau Rp 5 juta per bulan.
Sayangnya, gaji atau upah yang diberikan pihak perusahaan tidak sepenuhnya untuk para mahasiswa magang. Mereka juga diharuskan memberi dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 Yen atau Rp 2 juta per bulan.
Terkait kasus itu, Direktur Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, yang saat ini dijabat John Nefri mengklarifikasi soal dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan mahasiswa magang ke Jepang. Menurutnya, kasus itu sedang dalam penyelidikan Bareskrim Mabes Polri.
“Proses magang mahasiswa ke Jepang adalah resmi, bukan ilegal. Mahasiswa yang diberangkatkan pun melalui seleksi dan berangkat membawa nama kampus. Jadi magangnya resmi. Ada seleksinya di kampus. Bukan ilegal,” tegas John kepada wartawan, Kamis (29/6).
John mengakui, pihaknya belum mengetahui secara pasti kenapa kasus itu masuk dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Meski begitu, pihaknya tentu sangat menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
“Kita hormati proses hukum yang berjalan. Saya sedang mendalami kasus ini. Pasalnya, kasus itu terjadi ketika sebelum saya menjabat sebagai direktur,” ujar John.
Dijelaskan John, kasus tersebut terjadi pada 2020-2021 saat pandemi Covid-19. Saat itu, katanya, dirinya belum menjabat direktur. Pasalnya, ia menjadi direktur pada Agustus 2022 untuk periode 2022-2026.
“Kalau tidak salah itu 2020-2021 saat Covid-19 ya. Saya waktu itu belum menjadi direktur. Sehingga saya tidak tahu persis bagaimana kasusnya. Yang jelas, kami tentu sangat kooperatif,” kata John.
Dikatakan John, saat program magang ke Jepang itu posisi direktur dijabat oleh EH yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan tersangka satunya lagi yang berinisial G merupakan direktur sebelum EH.
“Jadi, program magang ke luar negeri sudah saya hentikan sejak saya menjabat direktur. Kalau kegiatan belajar mengajar di kampus saat ini berjalan lancar dan baik,” tegasnya.
Sementara, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro menjelaskan, kasus tersebut awalnya terungkap ketika korban ZA dan FY melapor ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo, Jepang.
“Korban bersama sembilan mahasiswa lainnya dikirimkan oleh salah satu Politeknik untuk melaksanakan magang di perusahaan Jepang. Namun korban dipekerjakan sebagai buruh,” ujar Djuhandhani dalam konferensi pers di Mabes Polri.
Djuhandhani menambahkan bahwa, korban tertarik berkuliah di salah satu Politeknik yang berlokasi di Sumatera Barat (Sumbar) karena tersangka berinisial G sebagai Direktur Politeknik itu pada periode 2013-2018.
Lebih lanjut, G saat itu menjelaskan bahwa politeknik memiliki sejumlah keunggulan terkait dengan program magang ke Jepang dengan jurusan Tata Air Pertanian, Teknologi Pangan, Mesin Pertanian, Perkebunan, dan Holtikultura.
Sekira tahun 2019 korban mendaftar untuk mengikuti program magang di Jepang selama satu tahun. Selanjutnya, korban kemudian diarahkan untuk mengikuti seleksi program studi dan seleksi di tingkat kampus atau akademik. Hasil kelulusannya ditentukan oleh pelaku berinisial EH, yang saat itu menjabat sebagai direktur politeknik tersebut pada periode 2018-2022.
Djuhandhani lalu mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil penyidikan diketahui bahwa politeknik itu tak memiliki izin untuk program pemagangan di luar negeri sebagaimana ketentuan di Permenaker Nomor: PER.08/MEN/V/2008.
“Politeknik dalam menjalankan program magang tidak memiliki kurikulum pemagangan di luar negeri dan juga menjalin kerja sama dengan pihak luar negeri dalam hal ini perusahaan di Tokyo, Jepang tanpa diketahui oleh pihak KBRI Tokyo,” paparnya.
Atas perbuatannya kedua pelaku dikenakan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp600 juta.
Pelaki juga dikenakan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 600 juta. (jpg)












