PADANG, METRO – Dinas Lingkungan Hidup Kawasan Pemukiman dan Perumahan Kabupaten Padang Pariaman menyatakan bahwa kawasan Tarok City bukan kawasan hutan lindung dan juga bukan daerah tangkapan air. Tetapi merupakan daerah penyangga, yang artinya air dari atas untuk mengalir ke bawah ditandai dengan banyak sungai.
“Lahan 697 hektare itu merupakan bekas perkebunan Belanda dan bekas HGU (Hak Guna Usaha). Artinya, jika bekas HGU otomatis bukanlah hutan lindung. Ini dibuktikan dengan surat dari Dinas Kehutanan tanggal 5 juli 2017,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kawasan Pemukiman dan Perumahan Kabupaten Padang Pariaman, Yunisman.
Yunisman menjelaskan dalam surat tersebut dinyatakan kawasan ini bukanlah hutan lindung, dan ada sebagian sebanyak 80 hektare, namanya Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru yang merupakan diatasnya. Dapat disimpulkan kawasan ini Tarok City bukan daerah Catchment area (daerah tangkapan air).
“Kalau daerah tangkapan area, hutan lindung namanya itu. Yang jelas kawasan Tarok ini bukan hutan lindung. Dipastikan kawasan itu bukan daerah tangkapan air, tetapi merupakan daerah penyangga, yang artinya air dari atas untuk mengalir ke bawah ditandai dengan banyak sungai,” ujar Yunisman.
Yunisman menambahkan, sebagai bekas HGU, lahan Tarok City juga sudah mendapatkan pendapat hukum dari Kejari. Dulu, lahan tersebut pernah diberikan kepada PT Purna Karya pada 2003. Karena PT Purna Karya tidak bisa memenuhi kewajibannya maka lahan itu kembali menjadi tanah negara. “Setelah lahan itu menjadi tanah negara, kewenangannya dilimpahkan kepada Bupati Padangpariaman. Dokumen berupa SK-nya juga sudah ada. Jadi soal pembukaan lahan Tarok City ini tidak ada lagi permasalahan dan sudah sesuai dengan aturannya,” jelas Yunisman.
Terkait apakah sudah amdal, Yunisman mengakui saat ini sedang dalam proses karena di kawasan Tarok itu belum dimulai kegiatan. Namun, master plan sampai kepada DED (Detail Engineering Design), sudah ada setelah itu baru dibuat amdalnya. Amdal tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup amdal tunggal karena yang membangun bukan Padangpariaman dan itu akan dijadikan proyek strategis nasional.
“Jadi belum ada yang mulai pembangunan di Tarok City, kecuali jalan akses masuk ke dalam dan itu sudah sesuai dengan tata ruang. Jadi rancangan pembangunan harus memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan hidup. Makanya diawali dengan tata ruang dan dibuat master plannya, buat DED, dan amdal, baru kita mulai membangun,” ungkap Yunisman.
Sementara itu, terkait daerah itu merupakan kawasan dengan curah hujan yang tinggi dan dikhawatirkan sangat rentan terjadinya bencana jika di kawasan itu tetap dibuka, Yunisman mengatakan disitulah peran studi kelayakan dan master plan, yang mana sudah dilakukan kajian-kajian terlebih dahulu.
“Inilah fungsinya studi kelayakan dan pembuatan master plan sebelum dilakukan pembangunan. Karena saya orang lingkungan hidup, bagaimana pembangunan itu berbasis kepada ekosistim. Jadi Kalaupun umpamanya banjir, curah hujan tinggi itu yang mana. Tentu harus ada datanya,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar , Uslaini mengatakan, kawasan Tarok City itu sebelumnya merupakan kawasan hutan yang kemudian dijadikan menjadi nonhutan. Ini tentunya akan berdampak besar terjadinya bencana jika tidak dikelola dengan baik.
“Apabila kawasan dengan tingkat curah hujan yang sangat tinggi, kemudian hutan nya dibuka menjadi nonhutan dan dijadikan menjadi kawasan hunian atau pemukiman dengan tata drainase yang tidak baik, akan menimbulkan bencana banjir. Apalagi lahan yang dibuka sangat luas sehingga resapan air ke tanah tidak maksimal,” kata Uslaini.
Uslaini menjelaskan tren curah hujan di Sumbar meningkat setiap tahunnya, 16 persen dari curah hujan yang kalau dihitung curah hujan diatas 280 mililiter per hari hujan. Jika pada kawasan lahan itu terjadi hujan dengan intensitas tinggi, air akan mengalir di permukaan tanah, karena hutan yang fungsinya sebagai resapan sudah tidak ada lagi.
“Bisa saja bencana banjir bandang, atau juga tanah longsor dan bencana lainnya. Hal ini tentunya merugikan banyak pihak termasuk masyarakat. Kita tentunya tidak ingin pembukaan lahan dengan tujuan dijadikan kawasan hunian malah sangat rentan terjadi bencana,” jelas Uslaini.
Menyikapi dampak yang berkemungkinan timbul akibat pembukaan lahan ini, Uslaini menjelaskan Pemkab maupun yang terlibat dalam memprakarsasi proyek Tarok City ini harus melakukan studi terkait kerentanan wilayah terkait ancaman bencana yang akan timbul dengan dibukanya lahan tersebut.
“Lahan yang dijadikan Tarok City ini juga tidak bebas konflik. Karena ada masyarakat yang melaporkan ke Walhi. Kami menilai pembukaan lahan Tarok City rentan bencana, dikarenakan pembukaan lahan dilakukan dengan skala luas sehingga hilangnya wilayah tutupan sungai. Apalagi selama ini kawasan memang berfungsi sebagai daerah resapan air,” ujar Uslaini.
Uslaini menambahkan dari hasil diskusi yang pernah dilakukan, hutan yang dialihkan menjadi nonhutan yang dijadikan Tarok City tersebut memang tidak masuk dalam kawasan hutan lindung. Melainkan kawasan itu berada pada Areal Pemukiman Lain (APL). Meskipun begitu, tutupan hutan dan tegakan pohonnya yang harus menjadi pertimbangan. (rgr)