Secara lahiriah tidak ada perbedaan antara satu waktu dengan waktu yang lain. Antara satu hari dengan hari yang lain atau bulan dan tahun. Perputaran waktunya sama dan mungkin aktivitasnya juga tidak jauh berbeda.
Begitu juga tempat. Tidak ada istimewanya antara satu tempat dengan tempat yang lain. Sebab suatu tempat secara lahiriah memiliki unsur bangunan yang sama dan bahan yang digunakan juga sama. Ada batu batanya, ada semen dan lain-lain.
Tapi dalam pandangan Islam, ternyata ada hari yang dianggap istimewa. Senin umpamanya. Harinya menjadi lebih istimewa dari hari lainnya sebab pada hari itu Nabi Muhammad SAW dilahirkan, hari itu juga wahyu pertama beliau terima, hari Senin juga terjadinya Isra’ dan Mi’raj dan pada hari Senin pula beliau wafat. Itu (puasa Senin) hari itu aku dilahirkan, aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku. (H.R Muslim)
Ada juga hari Jum’at. Pada hari itu, Allah SWT menciptakan Nabi Adam a.s diciptakan dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari Jum’at pula Nabi Adam wafat. Pada hari itu permintaan hamba dipenuhi oleh Allah SWT. Pada hari itu pula nanti akan terjadi kiamat. (Imam Syafi’i dan Imam Ahmad). Sehingga hari Jum’at disebut sebagai rajanya hari (sayyidal-ayyam).
Itulah sebabnya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Makki al-Maliki al-Hasani menyebutkan bahwa suatu waktu bisa menjadi istimewa disebabkan oleh peristiwa yang terjadi pada hari itu. Akan semakin tinggi keistimewaan suatu waktu dengan istimewanya peristiwa yang terjadi. Muhammad bin Alawi: 6)
Begitu juga dengan sepuluh terakhir Ramadan. Waktu dan rupa ibadah pada hari itu sama saja dengan sepuluh pertama dan sepuluh kedua Ramadan tetapi pada sepuluh terakhir itu, kesungguhan (mujahadah) ibadah Nabi SAW melebihi kesungguhan beliau beribadah di luar hari itu. (H.R Muslim).
Kesungguhan ibadah di sepuluh terakhir Ramadan yang dicontohkan oleh Nabi, bukanlah sebagai rutinitas yang berlebih dan berbeda saja, tetapi ada hikmah dan pesan penting dibaliknya.
Pada sepuluh terakhir Ramadan terjadi peristiwa lailatulqadar yang keutamaannya melebihi seribu bulan yang sama dengan 83 tahun 4 bulan. Keutamaannya melebihi umur mayoritas manusia hari ini. Artinya jika seseorang memperolehnya, karunia Allah kepadanya melebihi dari dosa-dosa yang pernah diperbuat semasa umurnya.
Mujahadah Ramadan
Semenjak sebelum masuk Ramadan dan setelah menjalani ibadah dalam bentuk riyadhah (latihan) saat Ramadan, kaum shaimin telah melalui prosesi melatih diri agar tetap tegak lurus, tidak mudah beralih kepada selain Allah. Dalam praktik ibadah berupaya agar batinnya selalu bersama Allah sesuai dengan tuntunan syari’at.
Idealnya, setelah itu, ia mesti masuk pada jalan mujahadah (kesungguhan) sebagai usaha yang dilakukan sebelum mendapat petunjuk dalam prosesi latihan itu. Ujungnya adalah memperoleh maqamtaqwa dengan berbagai pengalaman batin (ahwal) yang meliputinya.
Idealitasmujahadah dalam sepuluh terakhir Ramadan dapat dipedomani dari pesan Nabi Muhammad SAW. Carilah lailatulqadar itu di malam-malam ganjil pada sepuluh terakhir Ramadan (H.R Bukhari dan Muslim).
Lebih spesifik, ada tiga amalan yang dikerjakan Nabi SAW untuk memuliakan sepuluh terakhir Ramadan dalam rangka menyambut lailatulqadar. Apabila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadan, Nabi SAW mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan keluarganya (H.R Bukhari dan Muslim)
Pertama mengencangkan sarungnya. Sebagai tanda mujahadahnya Nabi SAW beribadah, maka dikencangkan ikatan sarungnya. Ini dapat dimaknai secara metafor, bahwa beliau tidak menggauli istrinya di sepuluh terakhir, karena khusuk dalam ketersambungan batinnya kepada Allah SWT.
Kedua, menghidupkan malam. Pada sepuluh akhir Ramadan, Nabi SAW membalikkan logika umum yang menyebutkan malam sebagai waktu istirahat. Justru pada malam-malam itu, Nabi selalu bangun untuk memperbanyak ibadah, mulai dari shalat, zikir, baca al-Qur’an dan ibadah lainnya.
Ketiga, membangunkan keluarganya. Sebagai wujud tanggung jawab pemimpin keluarga, Nabi SAW tidak hanya mementingkan dirinya, tetapi membawa keluarga untuk bersama-sama mengambil waktu istimewa di akhir Ramadan untuk memperbanyak ibadah. untuk sama-sama meningkatkan ibadah.
Akhirnya, proses riyadhah dan mujahadah inilah mengantarkan kaum shaimin untuk memperoleh maqamtaqwa dalam pandangan Allah SWT. “Siapa yang mendirikan lailatulqadar karena iman dan keikhlasan, akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu,” (H.R Bukhari). (**)
