Oleh : Rahmiati Aulia S.Psi, JFT Pembimbing Kemasyarakatan Ahli PertamaBalai Pemasyarakatan Kelas I Padang
Diversi adalah istilah yang mulai dikenal di Indonesia sejak ditetapkannya Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi merupakan upaya untuk menyelesaikan perkara Anak yang melakukan tindak pidana di luar peradilan. Secara singkat bisa dikatakan, diversi merupakan upaya hukum untuk mendamaikan antara pihak korban dan Anak sebagai pelaku, sehingga proses hukum tidak perlu berlanjut sampai ke tingkat Pengadilan.
Latar belakang dilakukan diversi pada dasarnya adalah untuk melindungi hak-hak Anak yang masih di bawah umur. Hal ini disebabkan karena Anak-anak memiliki karakteristik psikologis yang berbeda dengan orang dewasa, baik dari pola pikir, pemahaman akan nilai-nilai hukum dan norma sosial, serta kedewasaan dalam bertindak dan mengambil keputusan. Selain itu, Anak merupakan kelompok rentan yang membutuhkan perlakuan khusus, dan dibutuhkan pula aturan khusus untuk melindungi mereka di mata hukum.
Meskipun demikian diversi tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Berdasarkan pasal 7 UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa diversi hanya bisa dilakukan apabila ancaman pidana yang dilakukan Anak tidak lebih dari 7 tahun, serta apabila Anak baru pertama kali terlibat tindak pidana. Contoh pidana yang bisa dilakukan diversi adalah pencurian ringan, kecelakaan lalu lintas, perjudian, penadahan, penganiayaan dan lain-lain. Sedangkan kasus yang tidak bisa diversi diantaranya pembunuhan, perlindungan anak (asusila terhadap anak), pencurian berat dan lain-lain.
Masih di dalam Undang-Undang yang sama, dinyatakan pula bahwa diversi hukumnya wajib untuk dilakukan di setiap tingkatan. Apabila kesepakatan tidak diperoleh di tingkat kepolisian, akan dilakukan lagi di tingkat kejaksaan, begitu pula apabila masih gagal, upaya diversi akan kembali dilakukan di tingkat pengadilan negeri dan difasilitasi oleh hakim. Apabila masih belum terwujud barulah hakim akan memutus perkara melalui persidangan.
Penulis sudah beberapa kali menangani perkara Anak sebagai seorang Pembimbing Kemasyarakatan dalam pelaksanaan upaya diversi. Sebelum diversi bisa dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (PK Bapas) akan melakukan penggalian data untuk mengetahui karakteristik pribadi, sosial keluarga, riwayat adiksi, riwayat pendidikan dan tingkah laku, kondisi keluarga, kondisi lingkungan sekitar anak, sampai ke latar belakang dan kronologi terjadinya tindak pidana. Dari hasil analisa penelitian tersebut seorang PK Bapas dapat menemukan garis besar bagaimana Anak-anak bisa melakukan tindak pidana.
Sebagai contoh anak R (15 tahun) melakukan pencurian terhadap sebuah kedai, dengan mengambil rokok dan kotak sumbangan masjid bersama dengan 2 orang temannya. Dari pencurian tersebut korban mengalami kerugian lebih kurang 1,5 juta rupiah.
Setelah dilakukan pemeriksaan diketahui bahwa R terlibat pencurian itu bukan atas keinginan sendiri, melainkan karena diajak oleh A (19 tahun) saat mereka jalan-jalan malam menghabiskan waktu. R sendiri merupakan siswa aktif di sebuah SMP Negeri yang memiliki prestasi di atas rata-rata, meskipun secara perilaku masih kurang baik karena sering membolos.
Karena sudah memenuhi syarat, diversi pun dilaksanakan dengan melibatkan aparat penegak hukum (Polisi & PK Bapas), pihak Anak, pihak korban, tokoh masyarakat, pekerja sosial profesional, serta dinas perlindungan perempuan dan Anak. Sehingga diperoleh kesepakatan damai dengan penggantian kerugian oleh pihak keluarga Anak sebagai pelaku kepada pihak korban. Dengan demikian tujuan diversi dapat tercapai yakninya pengembalian keadaan seperti sebelum terjadinya tindak pidana, dan Anak tidak perlu dirampas kemerdekaannya oleh pemenjaraan. Selain itu anak yang sudah berjanji untuk tidak mengulangi tindak pidana dapat kembali menjalani kehidupan nya dengan lebih baik, tentunya dengan pengawasan yang lebih ketat dari keluarga.
Bayangkan apabila tidak ada diversi, anak harus menjalani proses hukum yang panjang, dan selama menunggu putusan Anak harus ditahan di kepolisian atau rumah tahanan negara bersama pelanggar hukum lainnya yang bisa jadi memberikan pengaruh buruk bagi Anak. Padahal pada dasarnya Anak masih memiliki potensi besar untuk dididik dan diarahkan. Dan hal paling kejam yang bisa direnggut dari seorang Anak adalah kemerdekaannya. (**)
