Oleh: Riyan juliansyah, Indri Okfelmi dan Ifmaily (Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Perintis Indonesia Padang)
Dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Tenaga kefarmasian adalah tenaga principle melakukan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Tenaga kefarmasian melakukan praktik kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian, salah satunya Apotek.
Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di apotek, maka harus dilakukan evaluasi mutu pelayananan kefarmasian. Di era globalisasi saat ini, persaingan apotek yang berasal dari dalam negeri maupun pemilik sarana apotek Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang masuk ke Indonesia semakin tak terelakkan.
Selain itu, deregulasi ttentang pendirian apotek, tingginya permintaan konsumen terhadap obat dan banyaknya jumlah apoteker juga menjadi faktor pemicu semakin banyaknya jumlah apotek. Secara tidak langsung, persaingan bisnis antar apotek semakin ketat demi memperoleh jumlah pelanggan semaksimal mungkin.
Bisnis apotek sebenarnya merupakan bisnis yang dapat didirikan di wilayah manapun. Namun tetap saja harus memperhatikan strategis atau tidaknya lokasi calon bisnis apotek didirikan. Hal ini karena, lokasi sangat menentukan keberhasilan bisnis apotek. Secara garis besar, wilayah di Indonesia dapat dibagi menjadi wilayah pedesaan dan perkotaan. Kedua wilayah ini memiliki budaya dan karakter yang berbeda. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan sarana transportasi jenjang perbedaan diantara keduanya sudah dapat dikurangi.
Peluang bisnis apotek di desa yaitu masih minimnya saingan bisnis apotek lain selain itu harga sewa lokasi apotek di desa juga relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya sewa di perkotaan. Sehingga anggaran untuk mendirikan apotek di desa secara umum lebih sedikit.
Namun tentunya di balik peluang tersebut, terdapat beberapa tantangan dalam berbisnis apotek di desa.
Tujuannya untuk mengetahui seberapa besar peluang seorang apoteker untuk berkiprah di pedesaan.
Adapun manfaatnya a. Dapat meningkatkan kesehatan masyarakat. b. Dapat meningkatkan penyembuhan dan pemulihan, serta kesadaran dan kemauan dari setiap individu untuk menjaga kesehatan, memilih, dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. c. Memperbesar peluang farmasis untuk bekerja di dalam lingkungan masyarakat desa. d. Membentuk karakter yang kreatif dan inovatif dam memberikan pelayanan kesehatan khususnya di daerah pedesaan.
Sasarannya adalah perilaku hidup sehat dan ingkungan sehat.
Penggunaan obat secara rasional, biaya kesehatan yang dikelolah secara efisien, dan ketersediaan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan.
Manajemen pembangunan kesehatan
Pharmaceutical Care (P.C) merupakan tanggung jawab farmakoterapi dari seorang farmasis untuk mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dalam pelaksanaan ini dibutuhkan keterlibatan langsung farmasis kepada pasien dalam segi pelayanan kebutuhan pesien, memberikan informasi obat yang tepat, membantu menjaga efek dari obat tertentu, kontribusi farmasis dalam hal penggunaan obat yang tepat dan peresepan yang rasional dan ekonomis.
Adapun masalahnya, abeberapa tantangan dalam berbisnis apotek di desa, diantaranya yaitu. 1. Jumlah resep dan volume penjualan yang cenderung rendah. 2. Margi keuntungan Apotek yang minim. 3. Budaya masyarakat yang bervariasi. 4. Pengetahuan Masyarakat di Desa terhadap Apoteker Minim. 5. Biaya pengadaan barang lebih besar. 6. Pergantian pegawai secara cepat sulit dilakuka. 7. Kebutuhan operasional khusus 8. Hambatan untuk mengakses apotek.
Solusinya, apoteker harus memperbaiki citra profesinya dikalangan masyarakat, sehingga dibutuhkan eksistensi apoteker sebagai sumber daya manusia dalam hal peningkatan pengetahuan, keterampilan serta mampu berinteraksi dengan masyarakat.Dengan adanya interaksi, masyarakat dapat mengetahui kualitas pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker serta mendapatkan manfaatnya.
Hal ini dapat dilakukan dengan caramemberikan promosi dan edukasi kesehatan kepada masyarakat, dapat berupa pembagian pamflet atau brosur dan juga pemberian penyuluhan mengenai penyakit maupun informasi obat-obatan.
Serta membantu masyarakat untuk mengetahui obat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat masyarakat tahu mengenai “kapan? mengapa? dan bagaimana?” penggunaan obat yang baik dengan atau tanpa resep dokter.Sehingga masyarakat tau peran apoteker bukan hanya sebagai penjual obat di toko, tetapi juga dapat memberikan edukasi dan menjadi penasehat yang handal bagi masyarakat dalam penggunaan obat-obatan.
Kesimpulannya, seorang farmasis mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Di lain hal seorang farmasis juga dapat menciptakan peluang-peluang yang bagus dalam masyarakat khususnya di daerah pedesaan serta farmasis juga dapat turut andil dalam perkembangan kesehatan di indonesia khususnya di daerah pedesaan.
Sarannya, sebaiknya untuk seorang farmasi dapat melihat atau menggali lebih dalam lagi apa saja peluang yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesehatan di Indonesia khususnya di wilayah pedesaan, dan seorang farmasis diharapkan dapat lebih kreatif dan inovatif dalam memberikan pengabdian di masyarakat luas. (*)
Referensi
Fajarini, H. (2018). Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jurnal Ilmiah Farmasi, 7 (2): pp. 260-269.
Harimat Hendarwan, dkk. 2009. Analisis Kebutuhan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Kabupaten/ Kota Berdasarkan Pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Bidang Kesehatan. Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta.
https://belanja.swiperxapp.com/peluang-dan-tantangan-bisnis-apotek-di-pedesaan/
https://www.kompasiana.com/kerendjelau1009/5a45dadb16835f16e12b0c43/peran-farmasis-dalam-menyongsong-indonesia-sehat-2025?page=all
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.


















