SIJUNJUNG, METRO
Kabupaten Sijunjung merupakan salah satu daerah di Sumbar yang masih memiliki nilai kebudayaan yang masih melekat dan terjaga hingga kini, di antaranya budaya marosok dalam hal melakukan jual beli ternak. Tradisi marosok di Sijunjung kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk Provinsi Sumatera Barat, khususnya di Sijunjung.
Sertifikat penetapan WBTB ini diserahkan Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi dan diterima Wakil Bupati Sijunjung, Iraddatillah SPt di Hotel Kryad Bumiminang Padang, Rabu (24/3).
Di Sijunjung, tradisi marosok dalam jual beli ternak berlangsung di pasar ternak Palangki, Kecamatan Muaro Bodi, setiap hari Sabtu. Di sana transaksi jual beli ternak masih memakai cara marosok. Ijab kabul penjual dan pembeli hanya menggunakan isyarat, tidak lewat tutur kata secara langsung. Cara jual beli ternak dengan istilah marosok sudah sejak dahulu dilakukan, hingga menjadi tradisi turun temurun sampai kini.
“Alhamdulillah tradisi marosok sudah ditetapkan sebagai warisan budaya kita. Semoga budaya ini tetap terjaga turun temurun oleh anak generasi kita di Kabupaten Sijunjung,” ujar Wakil Bupati Iraddatillah.
Sementara itu Plt Kadis Usman Gumanti melalui Kabid Kebudayaan, Adha mengatakan. umumnya orang yang melakukan transaksi jual beli di pasar ternak sudah saling paham dengan cara marosok dan itu berlangsung hingga kini.
“Kita dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengusulkan tradisi tersebut menjadi warisan budaya tak benda ke kementrian, gunanya untuk melestarikan budaya tersebut,” tutur Usman.
Dijelaskan Usman, budaya marosok perlu dilestarikan kepada anak generasi di Sijunjung, agar budaya tidak hilang. “Ke depannya akan ada program yang kita terapkan untuk menjaga budaya ini. Sehingga anak generasi mengetahui budaya mereka, dan menjadi kearifan lokal kita di Sijunjung,” jelas Usman.
Untuk diketahui, dalam transaksi jual beli dengan cara marosok, kesepakatan harga hanya diketahui antara si penjual dan pembeli saja, meskipun itu dilakukan di tengah keramaian. Biasanya, para pemasok sapi atau dikenal dengan sebutan toke jawih akan memakai cara itu untuk mencari kesepakatan harga hewan ternak yang akan dibeli.
Mereka bisa menghitung berapa kilogram daging yang ada pada hewan, hanya dengan memegang badan hewan ternak tersebut, tanpa perlu menimbangnya. Jual beli pun berlangsung dengan tenang. Tidak seperti jual beli pada umumnya.
Jika tertarik penjual dan pembeli akan melakukan negosiasi dengan cara berjabat tangan. Saat bersalaman tangan akan ditutupi, biasanya menggunakan kain sarung. Saat itulah penjual dan pembeli mencari kesepakatan, melalui gerakkan jari-jemari. Setiap jari dan gerakan akan menentukan harga tersendiri.
Sebagai contoh, jika harga hewan tersebut Rp5 juta, maka cukup dengan menggenggam 5 jari secara bersamaan saat berjabat tangan. Kalau Rp4,5 juta, genggam empat jari lalu tekukan jari jempol, itu artinya empat setengah. Kalau sudah sepakat cukup dengan menganggukkan kepala. Kemudian menyerahkan uang dengan jumlah yang disepakati. Semuanya berlangsung tertutup dibalik sarung, atau topi. Sehingga orang lain tidak mengetahui harga dan pembayaran.
Umumnya para penjual dan pembeli hewan ternak sudah saling paham. Berapa pun harganya bisa diisyaratkan melalui jari. Jika penjual dan pembeli sudah bersalaman, kesepakatan harga akan segera ditemui. Setelah dibayar uang akan dihitung terlebih dahulu, jika sudah selesai barulah hewan ternak berpindah tangan.
Transaksi jual beli dengan cara marosok bertujuan agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial pada orang lain, menghindari prasangka dan sebagainya. Karena bisa saja kesepakatan itu dibuat dengan harga yang lebih tinggi ataupun lebih rendah, namun yang jelas harga jual beli disepakati antara kedua belah pihak. (ndo)
